pbi.umsida.ac.id — Penelitian yang dilakukan oleh Dr Vidya Mandarani MHum, dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), bersama rekan dosen dan mahasiswa, mengungkapkan bahwa adaptasi cerita rakyat menjadi buku bergambar mampu meningkatkan kemampuan literasi multimodal mahasiswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya lebih memahami isi cerita rakyat, tetapi juga mampu mengintegrasikan nilai budaya ke dalam karya kreatif berbasis multiliterasi.
Cerita Rakyat sebagai Media Pembelajaran Inovatif
Cerita rakyat selama ini menjadi bagian penting dalam pewarisan budaya bangsa. Namun, dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris, cerita rakyat sering kali hanya diposisikan sebagai teks bacaan biasa tanpa adanya eksplorasi visual dan multimodal. Dr Vidya menegaskan bahwa pendekatan multiliterasi menawarkan peluang baru. “Mahasiswa dapat merefleksikan nilai budaya sekaligus mengekspresikannya melalui desain kreatif,” jelasnya.
Lihat Juga: Optimalkan Pembelajaran Bahasa Inggris di SMA dengan Model Pembelajaran Kontemporer dan Animasi Papan Tulis
Dalam penelitian ini, mahasiswa semester tujuh yang mengikuti mata kuliah Literature in ELT diajak untuk mengadaptasi cerita rakyat Nusantara ke dalam bentuk buku bergambar berbahasa Inggris. Proyek ini dilakukan dengan kerangka pedagogi multiliterasi yang mencakup empat tahap: Situated Practice, Overt Instruction, Critical Framing, dan Transformed Practice.
Proses tersebut mendorong mahasiswa untuk memahami cerita rakyat tidak hanya dari sisi alur, tetapi juga dari makna simbolis, nilai moral, hingga pesan sosial-budaya. Melalui tahapan itu, mahasiswa belajar menghubungkan kisah tradisional dengan realitas kontemporer, sekaligus mengasah keterampilan berpikir kritis dan kreatif.
Proses Adaptasi dan Pengalaman Mahasiswa
Penelitian ini melibatkan 36 mahasiswa PBI Umsida. Mereka bekerja dalam kelompok untuk memilih, menganalisis, lalu mengadaptasi cerita rakyat seperti Calon Arang, Si Pitung, Timun Mas, Danau Toba, hingga Legenda Surabaya. Setiap kelompok bertugas merancang narasi ulang serta ilustrasi yang sesuai dengan audiens muda, khususnya anak-anak.
Dalam tahap Situated Practice, mahasiswa mengaitkan cerita dengan pengalaman budaya lokal. Seorang mahasiswa menuturkan, “Saya baru sadar bahwa Calon Arang bukan hanya kisah magis, tapi juga sarat makna spiritual dan budaya Bali.” Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa berhasil melihat cerita rakyat sebagai representasi nilai budaya yang lebih luas.
Tahap berikutnya, Overt Instruction, memberikan arahan teknis terkait desain multimodal, seperti pemilihan warna, tata letak, hingga simbol visual. Misalnya, adaptasi kisah Si Pitung digambarkan dengan warna merah dan emas untuk menekankan keberanian serta keadilan.
Lihat Juga: Tips dan Trik Menghafal Vocabulary Bahasa Inggris dengan Cepat dan Efektif
Dalam Critical Framing, mahasiswa diajak merefleksikan bagaimana pilihan visual dapat memengaruhi interpretasi budaya. Salah satu mahasiswa yang mengadaptasi Danau Toba mengungkapkan kekhawatirannya agar tidak salah menampilkan budaya Batak, sehingga ia melakukan riset tambahan tentang pakaian dan rumah tradisional.
Tahap akhir, Transformed Practice, menghasilkan buku bergambar yang tidak hanya menarasikan ulang kisah, tetapi juga menambahkan sentuhan modern agar relevan dengan pembaca masa kini. Misalnya, adaptasi Legenda Surabaya menampilkan latar kota dengan ikon hiu dan buaya, menghubungkan mitos lama dengan identitas modern kota Surabaya.
Hasil Penelitian dan Dampaknya untuk Pendidikan Bahasa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proyek adaptasi ini meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam berbagai aspek: literasi visual, kesadaran budaya, kreativitas, serta kepercayaan diri sebagai calon pendidik. Sebanyak 69% mahasiswa menyatakan proyek ini sangat membantu mereka memahami nilai budaya melalui bahasa, sementara seluruh peserta mengaku termotivasi untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih kreatif di kelas.
Dr Vidya menegaskan bahwa integrasi multiliterasi dalam pembelajaran EFL tidak hanya memperkaya metode mengajar, tetapi juga mendukung pembentukan identitas mahasiswa sebagai pendidik. “Mahasiswa tidak sekadar menyelesaikan tugas, mereka menciptakan karya yang merefleksikan identitas dan nilai budaya mereka sendiri,” ujarnya.
Implikasi penelitian ini sangat luas, terutama dalam mendorong guru bahasa Inggris masa depan untuk menggunakan media kreatif dalam pembelajaran. Dengan adaptasi cerita rakyat menjadi buku bergambar, mahasiswa belajar bagaimana literasi tidak hanya berhubungan dengan teks, tetapi juga dengan gambar, simbol, dan konteks budaya.
Penelitian ini merekomendasikan agar pendekatan multiliterasi lebih banyak diterapkan dalam kelas bahasa Inggris di perguruan tinggi. Selain mendukung pencapaian kompetensi abad 21, metode ini juga menjadi sarana pelestarian budaya lokal yang relevan dengan generasi muda.
Penulis: Mutafarida